sakit


Saya adalah pelajar rantau. Di tempat rantauan saya yang sekarang ini, sudah kurang lebih dua tahun saya menetap dan menimba ilmu. Beda pulau dari rumah orang tua saya, jauh sekali. 

Jauh dari rumah selalu membuat saya was-was. Tidak ada hal lain yang lebih penting dan menyita fokus saya selama saya hidup ini---selain kesehatan dan keselamatan orang tua saya. 

Saya dan teman-teman yang juga merantau, sedikit banyak ternyata punya ketakutan yang sama. Pernah suatu hari kami menangis bersama saat membahas masalah orang tua di rumah. Ternyata topik ini sensitif untuk dibicarakan.

Telepon pertama di pagi hari yang membawa berita buruk. 

Bisa dibilang, hampir tiap hari saya harus melewati fase jantung berdebar saat membuka telepon sesaat setelah bangun tidur. Kecemasan saya bukannya tanpa alasan...


Sekian tahun lalu, papa saya didiagnosis punya CAD(silakan dicari sendiri penjelasannya). Ditambah dengan hipertensi yang sudah menggerogoti beliau dari saat muda dulu. Saya ingat betul dahulu pada saat saya masih SD, ada suatu malam papa saya kena infark akut, lalu dilarikan ke rumah sakit. Papa saya sempat membisikkan kata-kata yang begitu menyayat hati. Seperti kalimat perpisahan. Hanya Tuhan yang tau betapa sedihnya hati saya dan mama saya saat mendengar kalimat tersebut. Malam itu, gugu tangisan menggema dan tangan ini tak henti-hentinya memohon kepada Sang Maha Kuasa. 

Syukurlah Tuhan masih berbaik hati untuk bisa memberikan keajaibannya. Papa saya masih ada sampai saat ini. 


Tetapi saya yang trauma. 


Saya benci perasaan ketakutan seakan saya segera ditinggalkan. 

Saya tidak mau sendirian menghadapi kerasnya dunia ini.

Saya tidak siap, dan tidak akan pernah siap. 

Semenjak hari itu, saya mulai dilanda kecemasan yang tiada henti. Ucapan papa saya yang selalu ingin menenangkan hati saya, seperi 'papa tidak apa apa' ' papa ngga sakit'  'papa sudah sehat sekarang' justru membuat saya lebih cemas lagi. Tidak terhitung berapa seringnya saya melihat ke arah perut dan dada papa saya saat beliau tidur, hendak memastikan saja bahwa beliau masih bernapas. 

Mungkin kalian yang pernah ada di posisi saya tau betapa tidak enaknya perasaan seperti ini. 

Was-was. Takut.

Tahun demi tahun berlalu. Akhirnya saya sekolah di luar kampung halaman saya, jauh dari orang tua. Kecemasan itu tetap dan selalu menyertai saya kemanapun saya melangkah. 


COVID.

Desember 2019, liburan semester. Saat saya menonton TV di ruang keluarga bersama papa dan mama saya, ada berita mengenai coronavirus yang menjadi outbreak di Wuhan, Cina. Masih berpikir enggak masuk ke Indo deh. Terus saja begitu.. sampai akhirnya saya berangkat kembali ke tempat perantauan pada awal bulan Februari--terus belajar seperti biasa, akhirnya pulang kembali ke rumah pada akhir Maret. 

Coronavirusnya ternyata masuk Indo ... sudah jadi pandemi..

Saat saya pulang, berpuluh kali saya semprotkan antiseptik ke tangan saya, dan berusaha tidak menyentuh benda benda yang tidak diperlukan selama perjalanan itu. Baik itu di bandara, pesawat, dan gocar yang saya naiki. Sampai di rumah pun saya langsung mandi, ganti pakaian, dan mengisolasi diri selama dua minggu. 

Segala anjuran WHO dan pemerintah sudah saya ikuti dengan sepenuh hati.

Hari demi hari berlalu.. 

Minggu demi minggu....

Lockdown..

Work from home..

Segalanya berjalan baik. Saya dan keluarga masih sehat-walafiat. 

Sekian bulan berlalu... 

Saya dan keluarga taat pada peraturan pemerintah. 

Social distancing, masker, menjaga kebersihan, tidak nongkrong, tidak keluar rumah bila tidak diperlukan.....

Saat teman-teman saya yang dulu pas awal pandemi menggaungkan jangan keluar rumah, jangan nongkrong ----sudah nongkrong kembali dan liburan ke luar, saya dan keluarga masih tidak ikut-ikutan. 

Ke mall saja tidak. Makan di luar juga tidak. Nongkrong di cafe juga tidak. Saya juga tidak bertemu dengan teman-teman saya selama ini, sudah saya tahan-tahan.

mentoknya, saya dan keluarga membeli makanan take away atau memasak makanaan sendiri di rumah lalu dibungkus untuk dimakan di tepi sawah di pinggir kota, itupun makannya di dalam mobil. 

Semua itu saya dan keluarga lakukan, kembali lagi karena takut terjadi sesuatu kepada papa saya yang high risk untuk mengalami severe symptoms bila terkena COVID-19 ini. 

Sampai akhirnya tanggal 17 Agustus 2020, ada keluarga saya datang dari kota lain, singgah sebentar di rumah kami. Mau tidak mau, suka tidak suka, tetap pintu rumah ini terbuka untuk mereka. 

Akhirnya, kami makan di luar. 

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami makan di luar. Masker sudah siap, cuci tangan pun sekian kali telah dilakukan. Duduk juga berjauhan dari pelanggan lain, dan itu adalah restoran semi-outdoor. 

Tidak ada satupun di antara kami yang mengira bakal terjadi sesuatu setelahnya. 


10 hari setelah hari itu, saya dan keluarga batuk dan gejala flu.

Batuknya kering, tetapi hidung tidak mampet. 

Udara yang masuk ke hidung rasanya dingin bukan main. Rasa-rasanya saya tidak pernah flu tetapi gejalanya seperti ini.

Kepala pusingnya bukan main. 

myalgia... 

pharyngitis...

saya sudah suudzan kalau-kalau saya kena covid. 

Dan akhirnya, pada hari ke 12, saya anosmia.

Papa saya juga mengalami anosmia. Tetapi anggota keluarga yang lain tidak mengalaminya.

Minyak kayu putih.. parfume.. benar-benar tidak tercium apa apa walau sudah saya gosokkan ke depan hidung ini.

Saya ambyar. 

Pikiran saya sudah mengerucut pada satu diagnosis itu. COVID. 

Ada penelitian yang berkata bahwa orang yang kena COVID, kemungkinan untuk terkena demamnya adalah 2 kali lipat, sedangkan kemungkinan untuk terkena anosmia nya adalah 27 kali lipat. 


Tetapi mengingat kemungkinan false negatif pada rapid test ini sungguh tinggi, saya akhirnya bertanya pada dokter yang merawat pasien COVID di RS, apa sih obat yang mereka kasih ke pasien covid? 

Azithromycin, Vitamin E, Vitamin C, Zinc, Imboost. 


Dan atas saran dari dokter tersebut,  saya dan keluarga meminumnya(kecuali azithromycin), lalu isolasi mandiri di rumah. 

Atas beberapa alasan yang tidak bisa saya sebutkan di sini, kami sekeluarga tidak menjalani swab. 


2 September 2020

Saat saya mengetik ini. Saya besok ujian online. Belum belajar. Banyak tugas. Kepala masih pusing dan badan masih lemas. Saya sudah lelah mendengar semoga zel besok baikan--ya walau tetap saya Aminkan juga.

Tapi itu hanya secuil hal yang saya pikirkan. 

Yang menjadi pikiran sebenarnya adalah, papa saya. 

Saya tidak ingin terjadi apa-apa pada beliau. 

Memang tidak ada keluhan seperti sesak napas atau hal lain. 

Tetapi saya tetap cemas. 


.

Saya buka instagram... teman-teman saya sudah pada nongkrong kembali. 

--saya engga nongkrong lho... keluarga saya juga engga..

ada yang pergi ke mall..

--saya enggak pergi ke mall sudah lama.

banyak yang tidak pakai masker 

--saya selalu pakai masker lho.. walau saya cuman keluar sekadar untuk beli makanan kucing saya.... 

mereka pada makan di luar..

--saya cuman makan di luar satu kali saja.....





[UPDATE]

8 September 2020 

Alhamdulillah ketakutan saya tidak terwujud. Saya dan papa saya perlahan sudah bisa mencium bau-bauan lagi. Badan masih lemas tetapi sudah tidak separah seminggu yang lalu. Kepala sudah tidak terlalu pusing.

Alhamdulillah

Comments

  1. I hope you and ur family are in good health :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. AAMIIN. Terimakasih banyak. May God bless u and your fam too.. Stay healthy ya :D

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

when i look into your eyes

Gundah

I hope your favorite people never turn into stranger